Selasa, 23 Maret 2010

BELAJAR BERPRASANGKA BAIK KEPADA ORANG LAIN

Ketika semua telah diperdengarkan dengan dentang dan deru modernisasi yang merasuk ke dalam semua sendi kehidupan, maka tidak dapat dibantah bahwa sekarang telah dirasakan getaran kemajuan zaman yang membawa semua orang berkompetisi meraih cita dengan semua cara yang mampu dilakukan. Pada akhirnya membawa warna yang beragam ke dalam setiap denyut nadi kehidupan manusia yang masih diberi kesempatan untuk menghembuskan nafas dengan nyaman.
Hal ini merupakan gambaran kuasa illahi yang tak terhingga dan mayoritas membuat lalai dengan sebuah rasa syukur terhadap seluruh karunia tersebut. Banyak sosok yang masih bisa memanfaatkan kesempatan dari semua nikmat yang telah diberikan dengan menambah saldo keingkaran seperti memanfaatkan perkembangan teknologi untuk melakukan tindak kriminalitas, memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk menumpuk perasaan sombong, dan tidak sedikit contoh yang masih membuat rasa ironi di dalam hati.
Hidup di dunia selalu menghadap kepada dinamika yang beragam, sehingga di antara interaksi sosial tidak jarang di pertemukan dengan konflik lahir maupun konflik batin. Ada yang hanya terpicu masalah sepele membuahkan sebuah perkelahian antar daerah, ada yang hanya karena mempertahankan gengsi sanggup menghalalkan segala cara untuk mempertahankannya, ada yang sanggup memutuskan indahnya hubungan silaturrahim hanya karena suatu pokok masalah yang tidak jelas.
Bahkan, di dalam ruang lingkup keluarga sekalipun tidak jarang perselisihan antara seorang suami dengan isterinya, seorang anak dengan orang tuanya, seorang menantu dengan mertuanya, dan masih banyak lagi kasus-kasus kecil ataupun besar, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Hal ini menunjukkan sisi buruk yang terdapat pada setiap jiwa manusiawi pada tiap orang. Sering sekali terdengar bahwa sekarang adalah masa krisis kejujuran yang sama dengan krisis kepercayaan. Padahal semua insan pada hakekatnya sepakat bahwa rasa percaya adalah subtansi untuk menjadi pondasi terbinanya kerukunan demi mencapai kebahagiaan.
Jika dikaji lebih dalam, hal tersebut kembali kepada pribadi masing-masing, terhadap sebagian kecil kejelekan yang terlepas dari sudut pandang perhatian kepada pengenalan siapa sebenarnya diri ini, atau dapat dikatakan orang telah banyak melupakan sebuah proses muhasabah diri yang seharusnya ada dalam tiap jiwa seseorang demi terbinanya kerukunan bermasyarakat. Hal tersebut dapat dijadikan sebuah bukti bahwa diri manusia telah dipenuhi dengan hasrat terlalu membuka lebar mata mereka untuk menatap segala kesalahan orang lain dan ujung-ujungnya melupakan kesalahan tersebut merupakan satu sisi yang mutlak dimiliki oleh setiap orang.
Oleh karena itu, sangat tepat dengan peribahasa “nampak semut di seberang lautan, tetapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan”. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kejiwaan tersebut membentuk sebuah kepribadian yang suka membicarakan aib orang lain (ghibah), meremehkan, mengejek, sehingga termasuk dalam golongan orang yang merasa tinggi hati, gampang mencap orang lain sesuka hati, dan sebagainya.
Tidak perlu mencari siapa contoh si pelaku atau subjek dari masalah tersebut, karena mayoritas setiap orang yang dikenal atau tidak, sedikit banyaknya tidak berbeda dalam hal ini. Hanya saja, beberapa tidak mau mengakui bahkan terkadang tidak mau menyadari, seakan telah menjadi orang yang paling sempurna. Padahal, manusia pada dasarnya memang sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, akan tetapi dalam lingkup sesama manusia tidak ada yang sempurna karena semua orang pasti memiliki kesalahan.
Seandainya setiap orang menyadari kaidah tersebut, insya’ Allah dalam lingkup kecil (keluarga), hingga dalam lingkup yang besar (negara), tidak akan ditemui kerusuhan maupun rasa permusuhan, karena dengan rasa saling menghargai kekurangan, akan tercipta sebuah lingkungan yang penuh kerukunan yang pada akhirnya menghasilkan kedamaian yang didambakan.
Sekarang, tidak jelas apakah karena kemajuan zaman membuat setiap orang seolah-olah telah merasa menjadi paling sempurna dalam segala hal, sehingga melupakan pentingnya arti sebuah agama yang menunjukkan keyakinan terhadap Allah. Ketika dalam kondisi yang terpuruk, bukan terpikir dengan kesalahan apa yang telah dilakukan, malah memikirkan untuk mencari dan memperbesar frekuensi untuk menyalahkan orang lain. Bahkan, tidak sedikit yang sudah berani menyalahkan Tuhan.
Segala perbuatan manusia merupakan manifestasi dari gambaran atau kondisi bathinnya. Jadi, dapat disebut akhlak yang baik dilahirkan oleh kondisi bathin yang baik pula. Perbaikan diri jangan hanya karena pandangan atau penilaian orang lain, melainkan karena keinginan untuk membina kerukunan dan menjauhkan permusuhan kepada sesama agar mendapatkan kedamaian dan rahmat Allah.
Sebagai manusia, tidak jarang bila ditemukan seseorang yang tidak mau menerima intimidasi yang berbentuk apapun karena sifat sombongnya, dan menjadi tuli meskipun bisa mendengar dengan setiap sugesti positif, dan lebih parahnya tidak sedikit orang yang sama sekali tidak mau bercermin kepada dirinya sendiri sebelum memandang sisi negatif orang lain.
Sebagai bahan renungan, mari sama-sama belajar untuk lebih memodifikasi segala sikap yang selama ini dirasakan sebagai sesuatu yang salah, karena orang tidak akan menemukan kebenaran tanpa melalui kesalahan. Dan hal yang tidak kalah penting adalah, merupakan sebuah kesalahan jika penilaian yang paling benar adalah penilaian orang lain, tetapi yang paling mengerti dengan jiwa dan yang paling bisa mengenal diri seseorang adalah dirinya sendiri, hanya saja itu tidak akan bisa dimengerti selama tidak mau menyelami lebih dalam tentang dirinya sendiri. Jazakumullah khairan katsiraa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar